Al Imam Ghazali

oleh pada Selasa, 14 Juni 2011
Al Imam Ghazali Bandung
Siapa yang tak kenal dengan Imam Al-Ghazali. Ia dikenal sebagai ulama tasawuf dan paham filsafat. Sosok yang besar sumbangannya terhadap khazanah intelektual Islam ini, memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ahmad al-Tusi al-Shafi’i. Ia lahir pada 450 H/1058 M di Tabaran, Khurasan.
Sejak kecil kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan terlihat dari kesenangannya dalam menggembara dan merantau dari satu tempat ke tempat yang lain untuk berguru ke ulama-ulama. Ketika berada di Baghdad, Al-Ghazali dilantik sebagai Mahaguru Universiti Baghdad, Irak.
Selain belajar dan mengkaji ilmu, Al-Ghazali juga banyak menulis. Karyanya mencapai 300 buah buku seperti ilmu mantik, akhlak, tafsir, ulumul Quran, falsafah, dan sebagainya. Namun, sebagian karyanya itu telah hangus dibakar tentera Moghul ketika menyerang kota Baghdad. Kitab yang musnah tersebut, yaitu 40 Jilid Tafsir, Sirrul Alamain, al-Madhnuuna bihi ala Qhairiha, dan lainnya. Yang terselamatkan hanya 84 buku seperti Al-Munqiz Mm al-Dhalal, Tahafut al-Falasifah, Mizanul Amal, Ihya Ulumuddin, Mahkun Nazar, Miyarul Ilmu, Maqsadil Falasifah, dan lainnya.
Meskipun Al-Ghazali banyak menulis mengenai filsafat, tapi ia tak dianggap filsuf. Kebanyakan peneliti menggolongkannya sebagai orang yang mengkritisi filsafat yang berkembang di zamannya. Hal ini terlihat dalam buku Tahafut Falsafah yang mengkritik filsafat karena dianggap menggoyahkan sendi-sendi keimanan.
Meskipun Al-Ghazali kurang senang dengan pemikiran filsafat dan para filsuf, tapi dalam buku Maqasid al Falasifah, ia mengemukakan kaidah filsafat untuk menguraikan persoalan yang berkaitan dengan logika, teologi, dan metafisika.
Setidaknya, ada tiga pemikiran filsafat metafisika yang menurut Al-Ghazali bertentangan, yaitu qadimnya alam ini, Tuhan tak mengetahui terhadap perkara dan peristiwa yang kecil, dan pengingkaran terhadap kebangkitan jasad. Al-Ghazali menganjurkan untuk mencari kebenaran dengan menjadikan al-Quran sebagai sumber yang utama.
Sikap kritis dan kecerdasannya itulah yang mengantarkan Al-Ghazali digelari Hujjatul Islam. Ia dikagumi penguasa Nizam al-Mulk sehingga dilantik sebagai professor Ushuluddin di Universitas Nizamiyyah, Baghdad, tahun 484 H/1091 M. Waktu itu ia baru berumur 34 tahun.
Ketika memangku jabatan inilah timbul keresahan diri atas berbagai pemikiran yang menyelinap dalam pikiran dan hatinya, karena ia tak menemukan kebahagiaan. Untuk itu, ia kemudian meninggalkan jabatan terhormatnya itu dan uzlah (menyendiri) di sebuah menara Masjid Umayyah di Damsyik, lalu ia pergi ke Jerusalem untuk melakukan tafakur di Masjid Umar dan Qubbat al-Sakhr (The Dome of the Rock).
Dalam masa pengembaraan itu, ia mengarang kitab-kitab selain dari Ihya Ulumuddin seperti seperti al-Iqtisad fi’l-I’tiqad, al-Fad’ih al-Bataniyyah dan Faisalat al-Tafriqah bainal-islam wa’z-zanadiqah.
Setelah sebelas tahun berada dalam pengembaraan, Al-Ghazali kembali ke kota kelahirannya, Tus, tahun 499 H/1105 M. Di sini ia hidup dengan aman bersama para muridnya dengan mengisi hidupnya hanya dengan pendidikan dan ibadah kepada Allah SWT hingga wafat pada 14 Jamadil-Akhir tahun 505 H/19 Desember 1111 M.
Seorang ulama mazhab ahlussunnah Ibn al-Jauzi, meriwayatkan, dalam kitab al-Thabat ‘Inda al-Mamat, sebuah kisah dari Ahmad (saudara Imam al-Ghazali) bahwa pada hari Senin, 14 Jamadil-Akhir, waktu masuk Subuh, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan melakukan shalat Subuh, lalu berkata, “Bawa kepadaku kain kafanku”.
Beliau mengambil kain itu, menciumnya, dan meletakkannya pada matanya, sambil berkata, “Kami mendengar dan taat dengan penuh persediaan untuk hadir ke hadirat Allah, Raja Yang Mahaberkuasa.” Kemudian beliau melunjurkan kakinya, menghadap kiblat, dan menghembuskan nafas terakhirnya sebelum matahari naik.

Terkait